Kala
itu saat matahari di atas kepala,aku tengah mengendarai sepeda motorku. Di
tengah hiruk pikuknya jalan ibukota,aku teringat kenangan masa laluku. Teringat
hari ketika orang yang kusayang meninggalkanku. Tak terbayangkan luka hatiku
saat kuingat lagi kejadian kala itu. Hari senin,pukul 5 sore 3 tahun yang lalu.
Jalan raya tengah sesak diisi oleh kendaraan-kendaraan. Aku tengah mengamati
suasana jalan raya dimana semua pengendara seolah berlomba mencapai garis
finish, barisan mobil yang tidak teratur,pengendara yang melanggar aturan dan
menikung kendaraan didepannya. Kadang aku berfikir kemana perginya polisi lalu
lintas negeri ini?
Tengah
itu pula terdengar kencang sirine ambulans, seharusnya jika seseorang memiliki
tingkat toleransi yang tinggi ia harus segera memberi jalan untuk ambulance
itu. Namun semuanya seperti orang tuli,tidak berperasaan dan tidak punya
toleransi. Teriakan petugas ambulans dari dalam mobil tidak sedikit pun membuat
mereka bergeming. Mungkin karena kesal,petugas itu turun dari mobil yang
ditumpanginya dan dengan membawa toa ia memberi instruksi agar semua pengendara
segera menepi dan memberi jalan untuk seorang pasien yang perlu tindakan yang
serius. Apakah bangsa ini selalu menutup telinganya seperti itu? Kemana
perginya kritikan mereka ketika melihat berita pejabat korupsi,yang tidak
mempedulikan kesejahteraan rakyat kalangan bawah? Kemana perginya sumpah
serapah yang dilontarkannya ketika hal-hal yang tidak baik terjadi pada bangsa
ini? Apakah bangsa ini hanya memperhatikan apa yang ada diatasnya dan tidak
pernah melihat ke bawah? Dimana toleransi mereka?
Aku
kesal melihat ulah mereka, apakah mereka baru akan sadar jika diperingatkan
seperti itu? Harusnya mereka malu dilihat oleh anak jalanan yang tidak
berpendidikan yang malah lebih memiliki toleransi daripada mereka yang duduk
manis di dalam roda empatnya,ditiup oleh sejuknya pendingin ruangan.
Yasudahlah,setelah direnungkan lagi memang mereka mungkin telah terbiasa
menutup indera dan bahkan hati mereka untuk memperdulikan hal-hal semacam itu.
Matahari
pun akan berganti posisi, indahnya lukisan langit sore itu. Diperjalananku,aku
memandangi siluet tawa gembira sebuah keluarga yang mengingatkanku dengan ayah
ibu di kampung halaman. Aku termasuk anak desa yang beruntung yang dapat
mengenyam pendidikan di kota besar ini dan hanya perlu mengeluarkan sedikit biaya.
Semester pertama lalu aku tinggal di kediaman nenekku yang sangat jauh dari
kampus, lelah rasanya harus pulang pergi dengan jarak sejauh itu. Aku juga
harus menghemat biaya hidupku disini,supaya tidak menyusahkan ibu bapak di
kampung. Yang aku perlukan disini hanyalah belajar agar cepat menyelesaikan
perkuliahan dan menjadi orang sukses,aku tidak masalah jika harus tinggal
ditempat yang sempit toh jika aku sudah sukses nanti semua bisa terbayarkan.
Itulah kenyataan yang harus aku jadikan motivasi.
Semester
1 berlalu,aku disibukkan dengan kegiatan BEM Universitas Brawijaya. Untuk ikut
organisasi ini adalah hal yang menyenangkan buatku. Awalnya aku tidak
tertarik,mengingat aku selalu diremehkan ketika SMA dulu. Teman satu angkatan
pun bahkan hanya sedikit yang mengenal aku. Oleh karena itu aku akan mengekspos
diriku dengan mengikuti organisasi ini. Daripada aku harus menjadi mahasiswa
kupu-kupu yang dianggap cupu. Memang dulu aku memiliki gejala autis,yang
menyebabkan tingkahku sedikit beda. Aku punya keahlian di bidang seni dan iptek
tapi aku tidak bisa mengeksplorasi semua bakatku. Aku minder,aku terlalu
sensitif. Oleh karena itu aku harus mengubah sifat minderku dengan cara
menunjukkan inovasiku pada organisasi ini.
Mengulas
sedikit cerita tentang masa SMA yang kata orang tersimpan cerita indah itu.
Namun,tidak bagiku. Aku tidak bisa bergaul,aku seorang siswa yang hanya
memiliki 3 teman,2 diantaranya adalah sahabat kecilku yang dipertemukan lagi di
SMA. Hari-hariku hanya ditemani laptop yang berisikan game online,aku tidak
pernah ke kantin tidak bersosialisasi dan telingaku selalu di tutupi oleh
sebuah earphone tua milikku. Bukan aku tidak ingin bergaul,tapi aku hanya bisa
fokus pada satu hal saja. Saat belajar,aku fokus ke pelajaran,saat main game
saya hanya terfokus dengan game. Sehingga waktuku bagai tersita dengan
pelajaran dan game online saja.
Karena
disibukkan dengan kegiatan organisasi yang harus membuatku menginap di tempat
peristirahan temanku untuk sekedar menghemat biaya hidup,jadi aku ditawarkan
oleh seniorku untuk tinggal di sekretariat BEM di universitasku. Tanpa ragu aku
terima tawaran itu, meskipun aku belum mendiskusikan hal itu kepada paman dan
bibi. Memang itu alternatif tempat tinggal yang aneh,membayangkan tinggal di
sekretariat BEM di tengah kampus UNIBRAW yang luas itu. Bagaimana harus
membersihkan diri disana, namun itu bukanlah masalah mengingat aku sudah
terbiasa hidup susah di kampung. Dan saya rasa paman dan bibi tidak masalah
dengan itu,lagipula setiap weekend aku bisa berkunjung kerumah mereka.
Aku
menghela nafas, betapa rindunya aku dengan kampung halaman dan segala kenangan
yang terukir di pikiranku saat ini. Membayangkan kehidupan sederhana keluarga
kami,pertemanan tanpa pamrih,bermain di pasar sambil membantu bapak jualan kue.
Untuk bahagia itu sangat sederhana,selagi kita dapat tertawa lepas bersama
orang yang disayangi. Memang benar, untuk sekedar bahagia itu sederhana tapi
ada pula hal yang kita inginkan untuk diubah. Terutama kondisi finansial,
dengan finansial yang tergolong rendah saja kita sudah bahagia apalagi dengan
kondisi finansial yang meningkat. Ada pula keinginan untuk membuat nyaman kedua
orang tua di masa tuanya kelak.
Mengingat
hal itu aku terbangun dari lamunanku.
to be continue...........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar