Senin, 16 Januari 2017

Untitled....

Kala itu saat matahari di atas kepala,aku tengah mengendarai sepeda motorku. Di tengah hiruk pikuknya jalan ibukota,aku teringat kenangan masa laluku. Teringat hari ketika orang yang kusayang meninggalkanku. Tak terbayangkan luka hatiku saat kuingat lagi kejadian kala itu. Hari senin,pukul 5 sore 3 tahun yang lalu. Jalan raya tengah sesak diisi oleh kendaraan-kendaraan. Aku tengah mengamati suasana jalan raya dimana semua pengendara seolah berlomba mencapai garis finish, barisan mobil yang tidak teratur,pengendara yang melanggar aturan dan menikung kendaraan didepannya. Kadang aku berfikir kemana perginya polisi lalu lintas negeri ini?
Tengah itu pula terdengar kencang sirine ambulans, seharusnya jika seseorang memiliki tingkat toleransi yang tinggi ia harus segera memberi jalan untuk ambulance itu. Namun semuanya seperti orang tuli,tidak berperasaan dan tidak punya toleransi. Teriakan petugas ambulans dari dalam mobil tidak sedikit pun membuat mereka bergeming. Mungkin karena kesal,petugas itu turun dari mobil yang ditumpanginya dan dengan membawa toa ia memberi instruksi agar semua pengendara segera menepi dan memberi jalan untuk seorang pasien yang perlu tindakan yang serius. Apakah bangsa ini selalu menutup telinganya seperti itu? Kemana perginya kritikan mereka ketika melihat berita pejabat korupsi,yang tidak mempedulikan kesejahteraan rakyat kalangan bawah? Kemana perginya sumpah serapah yang dilontarkannya ketika hal-hal yang tidak baik terjadi pada bangsa ini? Apakah bangsa ini hanya memperhatikan apa yang ada diatasnya dan tidak pernah melihat ke bawah? Dimana toleransi mereka?
Aku kesal melihat ulah mereka, apakah mereka baru akan sadar jika diperingatkan seperti itu? Harusnya mereka malu dilihat oleh anak jalanan yang tidak berpendidikan yang malah lebih memiliki toleransi daripada mereka yang duduk manis di dalam roda empatnya,ditiup oleh sejuknya pendingin ruangan. Yasudahlah,setelah direnungkan lagi memang mereka mungkin telah terbiasa menutup indera dan bahkan hati mereka untuk memperdulikan hal-hal semacam itu.
Matahari pun akan berganti posisi, indahnya lukisan langit sore itu. Diperjalananku,aku memandangi siluet tawa gembira sebuah keluarga yang mengingatkanku dengan ayah ibu di kampung halaman. Aku termasuk anak desa yang beruntung yang dapat mengenyam pendidikan di kota besar ini dan hanya perlu mengeluarkan sedikit biaya. Semester pertama lalu aku tinggal di kediaman nenekku yang sangat jauh dari kampus, lelah rasanya harus pulang pergi dengan jarak sejauh itu. Aku juga harus menghemat biaya hidupku disini,supaya tidak menyusahkan ibu bapak di kampung. Yang aku perlukan disini hanyalah belajar agar cepat menyelesaikan perkuliahan dan menjadi orang sukses,aku tidak masalah jika harus tinggal ditempat yang sempit toh jika aku sudah sukses nanti semua bisa terbayarkan. Itulah kenyataan yang harus aku jadikan motivasi.
Semester 1 berlalu,aku disibukkan dengan kegiatan BEM Universitas Brawijaya. Untuk ikut organisasi ini adalah hal yang menyenangkan buatku. Awalnya aku tidak tertarik,mengingat aku selalu diremehkan ketika SMA dulu. Teman satu angkatan pun bahkan hanya sedikit yang mengenal aku. Oleh karena itu aku akan mengekspos diriku dengan mengikuti organisasi ini. Daripada aku harus menjadi mahasiswa kupu-kupu yang dianggap cupu. Memang dulu aku memiliki gejala autis,yang menyebabkan tingkahku sedikit beda. Aku punya keahlian di bidang seni dan iptek tapi aku tidak bisa mengeksplorasi semua bakatku. Aku minder,aku terlalu sensitif. Oleh karena itu aku harus mengubah sifat minderku dengan cara menunjukkan inovasiku pada organisasi ini.
Mengulas sedikit cerita tentang masa SMA yang kata orang tersimpan cerita indah itu. Namun,tidak bagiku. Aku tidak bisa bergaul,aku seorang siswa yang hanya memiliki 3 teman,2 diantaranya adalah sahabat kecilku yang dipertemukan lagi di SMA. Hari-hariku hanya ditemani laptop yang berisikan game online,aku tidak pernah ke kantin tidak bersosialisasi dan telingaku selalu di tutupi oleh sebuah earphone tua milikku. Bukan aku tidak ingin bergaul,tapi aku hanya bisa fokus pada satu hal saja. Saat belajar,aku fokus ke pelajaran,saat main game saya hanya terfokus dengan game. Sehingga waktuku bagai tersita dengan pelajaran dan game online saja.
Karena disibukkan dengan kegiatan organisasi yang harus membuatku menginap di tempat peristirahan temanku untuk sekedar menghemat biaya hidup,jadi aku ditawarkan oleh seniorku untuk tinggal di sekretariat BEM di universitasku. Tanpa ragu aku terima tawaran itu, meskipun aku belum mendiskusikan hal itu kepada paman dan bibi. Memang itu alternatif tempat tinggal yang aneh,membayangkan tinggal di sekretariat BEM di tengah kampus UNIBRAW yang luas itu. Bagaimana harus membersihkan diri disana, namun itu bukanlah masalah mengingat aku sudah terbiasa hidup susah di kampung. Dan saya rasa paman dan bibi tidak masalah dengan itu,lagipula setiap weekend aku bisa berkunjung kerumah mereka.
Aku menghela nafas, betapa rindunya aku dengan kampung halaman dan segala kenangan yang terukir di pikiranku saat ini. Membayangkan kehidupan sederhana keluarga kami,pertemanan tanpa pamrih,bermain di pasar sambil membantu bapak jualan kue. Untuk bahagia itu sangat sederhana,selagi kita dapat tertawa lepas bersama orang yang disayangi. Memang benar, untuk sekedar bahagia itu sederhana tapi ada pula hal yang kita inginkan untuk diubah. Terutama kondisi finansial, dengan finansial yang tergolong rendah saja kita sudah bahagia apalagi dengan kondisi finansial yang meningkat. Ada pula keinginan untuk membuat nyaman kedua orang tua di masa tuanya kelak.

Mengingat hal itu aku terbangun dari lamunanku.

to be continue........... 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar